CALON TUNGGAL BELUM PASTI MENANG

Rangkaian kegiatan pilkada serentak tahun 2018 sudah mulai berjalan, dari 171 daerah yang mendapatkan giliran pilkada, terdapat 16 daerah yang memiliki pasangan calon tunggal, dari 16 daerah tersebut mayoritas didmoinasi oleh pasangan calon petahana.

Fenomena calon tunggal merupakan kemunduran demokrasi dalam pilkada. Sebagai negara multi partai, pasangan calon tunggal mustahil terjadi apabila partai melakukan kaderisasi secara optimal. selain itu, maraknya isu mahar politik yang diprktekan oleh partai-partai politik menimbulkan dinamika politik lokal yang tidak berimbang, hal ini dikhawatirkan akan menurunkan tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada. Kondisi politik lokal menjadi tidak dinamis, karena tidak ada persaingan pasangan calon, ditambah lagi dengan tumbuhnya pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa biaya politik yang tinggi.

Payung hukum calon tunggal diatur dalam UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Misalnya, pasangan calon tunggal diperbolehkan apabila KPU telah melakukan perpanjangan pendaftaran tapi tetap saja tidak ada calon lain yang mendaftar. Selanjutnya dalam Pasal 54C ayat (1) UU No 10 Tahun 2016 dinyatakan bahwa calon tunggal juga diperbolehkan apabila terdapat lebih dari satu calon yang mendaftar tapi dinyatakan tidak memenuhi syarat yang mengakibatkan adanya calon tunggal. Mekanisme penentuan kemenangan untuk calon tunggal pun sudah diatur dalam UU No 10/2016, yakni calon tunggal dinyatakan menang jika mendapatkan suara lebih dari 50% dari suara sah. Namun, apabila kurang dari 50% dari suara yang sah, yang menang ialah kolom kosong. Undang-undang mengatakan calon yang kalah bisa maju dalam pemilihan berikutnya yang bisa digelar satu tahun kemudian.

Masyarakat beranggapan bahwa dengan adanya pasangan calon tunggal, bahkan pasangan tersebut merupakan petahana, semestinya anggaran digunakan untuk membangun daerah, ketimbang mengadakan pilkada. Anggapan masyarakat seperti ini tidak boleh berkembang seiring dengan perkembangan demokrasi. Selaian itu tantangan calon tunggal bahwa masyarakat pemilih kekurangan referensi dalam menentukan pilihan sehingga beranggapan bahawa calon tunggal yang di dominasi oleh calon petahana secara otomatis menang. Kesadaran bahwa pasangan calon tunggal tidak pasti menduduki kepala daerah harus terus disosialisasikan seiring dengan pilihan yang telah disediakan, apakah masyarakat setuju atau tidak setuju terhadap pasangan calon.

Kesadaran bahwa ketidaksetujuan masyarakat terhadap pasangan calon merupakan pilihan yang sah, mengingat pilihan itu disediakan dalam mekanisme pilkada. tidak setuju bukanlah berarti masyarakat tidak datang ke tempat pemungutan suara, melainkan memilih kolom tidak setuju yang disediakan dalam kertas pemilihan. Berbeda dengan Golput, tidak setuju kepada pasangan calon merupakan satu pilihan yang bisa saja dipilih oleh masyarakat, hal ini ditentukan oleh kompetensi para pasangan calon juga dinilai dari bagaimana kinerja selama pasangan calon menjabat sebagai kepala daerah.

Dengan mempertimbangkan suara tidak setuju, KPU dan Bawaslu sah-sah saja bila melakukan sosialisasi terkait pilihan masyarakat untuk tidak menyetujui pasangan calon yang tersedia. karena KPU dan Bawaslu harus mampu mendongkrak angka partisipasi masyarakat dalam pilkada, maka sudah seharusnya mensosialisasikan kolom tidak setuju. tentu, hal ini memiliki resiko yang berdampak bagi masyarakat terkait apabila kolom tidak setuju yang memenangi pilkada, maka kepala daerah akan ditunjuk oleh Mendagri sebagai Pelaksana Tugas dalam mengemban posisi Kepala Daerah hingga pilkada selanjutnya.

Sosialisasi kolom kosong merupakan bukti dimana demokrasi tetap berjalan, dan akan menjadi dorongan bagi partai politik untuk terus mengembangkan sistem pengkaderan dengan meningkatkan kinerja partai dan kadernya, karena kecerdasan dalam memilih, ialah hak masyarakat pemilih.
_
Alwan Ola Riantoby (081316702993)
Manajer Pemantauan Sekanas JPPR

@2023 Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat